Tokoh-tokoh seratusan, demikian sejarawan Taufik Abdullahmungkin
bercandamengistilah kan, menjadi amat bermakna tahun ini.
Ada seratus tahun Sutan Takdir Alisjahbana, Sutan Syahrir, Mohamad
Roem, Hamka, dan seratus tahun Kebangkitan Nasional. Namun, yang penuh
makna adalah seabad Mohd Natsir. Presiden Susilo Bambang Yudhoyono,
melalui Keputusan Presiden Nomor 041/TK/Tahun 2008, menetapkan Bung
Tomo, KH A Halim, dan M Natsir sebagai pahlawan nasional.
Sosok M Natsir (1908-1993), Perdana Menteri Pertama NKRI tahun 1950
dan tokoh PRRI, sebenarnya sudah diajukan sebagai pahlawan nasional
sejak 40 tahun lalu, semasa Mintardjo menjabat Menteri Sosial pada
awal 1970-an. Dan, Keppres Presiden yang menetapkan Natsir sebagai
pahlawan nasional saat genap 100 tahun merupakan kado istimewa. Ini
sekaligus menepis pendapat yang menuduh pergolakan PRRI dan RPI
sebagai pemberontakan.
Muara semuanya, tak lepas dari kerja keras Panitia Refleksi Seabad M
Natsir (1908-2008), yang dipimpin Prof Dr Laode M Kamaluddin dan
Lukman Hakim, Wakil Ketua Fraksi PPP DPR, dengan menempatkan Wakil
Presiden Jusuf Kalla sebagai Ketua Dewan Penasihat Panitia. Beratus
ilmuwan menyumbangkan pikiran M Natsir dalam seminar di berbagai kota
selama setahun dan mengudari bukti-bukti karakter dan kepribadiannya
yang luar biasa toleran dan kesederhanaannya yang memukau, bahkan oleh
lawan politiknya.
Santun
George McKahin dari Cornell University, misalnya, terkagum-kagum
melihat Natsir, satu-satunya Menteri (Penerangan) yang mengenakan baju
tambalan; selalu berbicara dengan tutur kata yang santun dan tertata;
Ketua Partai Masyumi yang amat akrabbahkan sampai ke hal-hal
pribadidengan Ketua Partai Katolik IJ Kasimo. Natsir, seorang Perdana
Menteri yang (dengan halus) menolak hadiah mobil Chevy Impala dari
cukong; dan satu-satunya pejabat di pemerintahan yang pulang ke rumah
dari istana membonceng sepeda onthel sopirnya selepas menyerahkan
jabatan perdana menteri kepada Presiden Soekarno.
Para sejarawan mencatat, tonggak- tonggak telah dipancangkan, pahatan
dipatrikan, tanpa sesiapa pun bisa melupakan. Adalah kabinet M Natsir
yang memperjuangkan Indonesia menjadi anggota PBB. Dia pula yang
memahatkan politik luar negeri "'bebas aktif' 'sejak awal. Ini berbeda
dari mengayuh di antara dua karangnya M Hatta yang lebih dekat pada
politik luar negeri yang netral. Natsir pula yang menuktahkan kata
kalimatun sawa, titik temu yang harus diraih oleh dan di tengah
kemajemukan (umat, etnik, aliran, ras) atau kebinekaan Indonesia.
Kabinet Datuk Sinaro Panjang ini pula yang mematok kebijakan ekonomi
dengan "Program Benteng" yang menghasilkan konglomerat pribumi Hasjim
Ning, Dasaat, Rahman Tamin, Ayub Rais, dan Achmad Bakriyang terakhir
adalah ayah Menko Kesra Aburizal Bakrie. Juga konsepsinya tentang
negara berkesejahteraan dalam rangka pembangunan berkeadilan sosial.
Kebijakan ekonomi yang diperuntukkan kepada mereka "yang tidak
diuntungkan" (rakyat kecil).
Namun, "pergelaran" kekuatan Natsirdan partai terbesarnya di
parlemen, Masyumikukut alias "turun layar (tancep)" setelah tak lagi
harmonis dengan Presiden Soekarno terkait masalah Irian Barat (kini
Papua), hanya lantaran sang Perdana Menteri mengajak para menteri ke
istana berdebat dan membuat Bung Karno merah, Natsir mengistilahkan.
Sejak itu, mudah diterka, kabinet Datuk Sinaro Panjang tak (lagi)
berumur panjang.
Pada sebuah petang, dalam wawancara dengan saya, M Natsiryang tampak
seperti masih teriris-iris pada masa tuanyamengingat- ingat saat
dipermainkan dalam sidang-sidang parlemen yang tidak kuorum.
"Permainan di Parlemen yang menyebabkan (kabinet) saya jatuh . Tidak
fair itu. Maka, kabinet saya mengundurkan diri. Saya tak mau
dipermainkan begitu,'' katanya (Buku 100 tahun M. Natsir, Berdamai
dengan Sejarah).
Tak berniat memberontak
Namun, Natsir terus melaju. Dengan kendaraan Masyumi, melalui
parlemen, pejuang demokrat ini mengajukan konsep dasar negara Islam,
seusai Pemilu 1955. Dan, kekuatan di belakangnya bergerak terayun
seperti bandul, yang lantas seperti sengaja "dibikin untuk dipatahkan"
dengan kata vonis: deadlock. Serentet perjuangannya menjadi tersedak
saat Presiden Soekarno membubarkan kabinet dan lengket dengan kekuatan
komunis.
Inilah yang mengantarnya memberi perlawanan bahkan sampai pada bentuk
pergolakanada yang menyebut pemberontakan PRRI dan RPI. Sebuah
perlawanan, yang menurut RZ Leirissa, dalam buku PRRI Permesta:
Strategi Membangun Indonesia Tanpa Komunis, " merupakan usaha untuk
menggalang kesatuan di antara berbagai kelompok dalam bangsa Indonesia
yang menolak konsepsi Presiden Soekarno dan pengaruh komunisme."
Leirissa menyatakan, "Dan PRRI sejak semula tidak ada niat untuk
memberontak. " Namun, perlawanan itu kandas setelah Presiden Soekarno
mengeluarkan amnesti. Sebuah langkah, yang tidak saja membuat Natsir
turun gunung, tetapi juga menjelomprongkan dan menjebloskannya ke
penjara tanpa ada pengadilan hingga dilepas oleh rezim Soeharto dengan
syarat tak lagi boleh berpolitik praktis.
Senjata kala pada akhir hayatnya pada 7 Februari 1993 telah mengantar
M Natsir menjadi lebih dikenal sebagai ulama, yang teduh, sebagai
Ketua Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia, dan Wakil Presiden Mu'tamar
Alam Islami. Ini mengingatkan pada seorang Natsir yang menancapkan
kata: "Bagi saya, politik dan dakwah tidak bisa dipisahkan. Seperti
dua sisi dari keping mata uang yang sama. Kalau kita berdakwah dengan
membaca Qur'an dan Hadits, itu berpolitik. Jadi, dulu berdakwah lewat
politik, sekarang berpolitik melalui jalur dakwah . Politik tanpa
dakwah, hancur," kata-kata yang dikutip banyak pejabat dan akademisi,
tertatahkan pada buku hijau: Politik Melalui Jalur Dakwah, yang
diterbitkan Panitia Seabad M Natsir, setengah tahun sebelum Presiden
SBY menandatangani Keppres pahlawan nasional.
Dan, inilah sebuah gelar, yang tidak saja menuktahkan kenegarawanan
seorang ulama intelektual, yang selalu memegang teguh amanah dengan
tingkat toleransi tinggi, memahatkan kalimatun sawa', sekaligusdengan
gelar itumembuktikan dan membantah sementara orang yang menyebut PRRI
sebagai pemberontakan.
Lebih dari itu. Pelajaran di sekolah, yang selama ini menyebut PRRI
sebagai "pemberontakan" seharusnya segera dihapus dan digantikan
dengan kata "perjuangan" , plus tambahan kata "pahlawan nasional" pada
nama Mohd Natsir. Ini barangkali makna paling dalam dari seratusan.
Agus Basri Panitia Refleksi Seabad M Natsir; Penulis Buku M. Natsir;
Pemimpin Redaksi The Fatwa Magazine
Rabu, 17 Juni 2009
100 TOKOH YANG KONSEN TERHADAP KALIMATUNSAWA
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar